Kepercayaanterhadap agama Yahudi ini bersamaan dengan kedatangan para pendatang Imigran dari wilayah utara yang terjadi sekitar abad ke 1 dan abad ke 2. Piagam Madinah Dan Upaya Menyelesaikan Sengketa Dengan Orang Yahudi Migrasi terbesar bangsa Yahudi terjadi pada tahun 132-135. Sebelum islam datang, masyarakat madinah adalah penganut. Rasulullahsaw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum'at tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk Madinah dengan meriah. Al-Barra bin 'Azib seorang sahabat dari kaum Anshor mengatakan, "Orang pertama dari para sahabat yang datang ke Yatsrib ialah Mus'ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang Langkahpertama Nabi SAW., begitu tiba di Madinah adalah membangun RasulullahSAW juga mempersatukan seluruh penduduk Madinah, baik Muslim, Yahudi maupun penyembah berhala berdasarkan ikatan sosial politik dan kemanusiaan. Hal itu ditetapkan dalam Piagam Madinah dengan prinsip-prinsip kebebasan beragama, toleransi, persamaan, persaudaraan, dan tolong-menolong. Vay Nhanh Fast Money. Jakarta - Kurang lebih 1400 tahun yang lalu di Madinah, -kota sehat menurut WHO-, disepakati Piagam Madinah. Ini adalah sebuah dokumen perjanjian tertulis yang diprakarsai Nabi Muhammad SAW dan para sahabat untuk mempersatukan beberapa golongan yang ada di Madinah saat Piagam Madinah, antara lain menetapkan adanya kebebasan beragama, kebebasan menyatakan pendapat; tentang keselamatan harta-benda dan larangan orang melakukan kejahatan. Isi Piagam Madinah hingga kini masih sering dikutip, baik dalam membuat sebuah naskah peraturan atau pun saat seorang tokoh berpidato. Pada 27 sampai 28 Januari 2020 lalu misalnya, Konferensi Internasional Al-Azhar mengutip Piagam Madinah dalam salah satu rumusannya. "Negara menurut pandangan Islam adalah negara bangsa modern yang demokratis konstitusional. Al-Azhar-diwakili oleh para ulama kaum Muslim hari ini-menetapkan bahwa Islam tidak mengenal apa yang disebut dengan negara agama teokratis karena tidak memiliki dalil dari khazanah pemikiran kita. Ini dipahami secara tegas dari Piagam Madinah dan praktek pemerintahan Rasul serta para khalifah rasyidin setelah beliau yang riwayatnya sampai kepada kita. Para ulama Islam, di samping menolak konsep negara agama, mereka juga menolak negara yang mengingkari agama dan menghalangi fungsinya dalam mengarahkan manusia." Demikian isi rumusan nomor 12 dari Konferensi Internasional Al-Azhar yang dikutip Tim Hikmah dari laman Kementerian Agama, Rabu 27 Januari dan Tujuan Piagam MadinahKetika Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, di wilayah itu sudah tinggal beberapa golongan. Mereka antara lain Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar, orang-orang musyrik dari sisa-sisa Aus dan Khazraj, orang-orang Yahudi Banu Qainuqa di sebelah dalam, Banu Quraiza di Fadak, Banu'n-Nadzir tidak jauh dari sana dan Yahudi Khaibar di kaum Muhajirin dan Anshar sudah ada solidaritas sebagai sesama muslim. Namun untuk golongan Aus dan Khazraj ini sangat rentan sekali terjadi konflik. Maka untuk menghentikan potensi konflik antar Bani Aus dan Bani Khazraj, juga dengan golongan lain, Nabi Muhammad SAW setelah berdiskusi dengan Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab dan sejumlah sahabat membuat sebuah dokumen perjanjian tertulis. Dalam dokumen yang kemudian dikenal dengan Piagam Madinah itu ditetapkan sejumlah hak dan kewajiban kewajiban bagi kaum Muslim, kaum Yahudi, dan komunitas komunitas lain di Isi Piagam Madinah?Sejumlah referensi menyebutkan Piagam Madinah dibuat sekitar tahun 622 Masehi di awal-awal Nabi Muhammad SAW dan umat Islam tiba di Madinah, yang sebelumnya dikenal sebagai Yatsrib. Berikut ini isi Piagam Madinah yang redaksinya dikutip dari Buku Sejarah Hidup Muhammad karya Muhammad Husain MadinahDengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Surat Perjanjian ini dari Muhammad-Nabi, antara orang=orang beriman dan kaum muslimin dari kalangan Quraisy dan Yatsrib Madinah serta mengikut mereka dan menyusul mereka dan berjuang bersama-sama mereka bahwa mereka adalah satu umat, di luar golongan orang lainKaum muhajirin dari kalangan Quraisy adalah tetap menurut adat kebiasaan baik yang berlaku di kalangan mereka, bersama-sama menerima atau membayar tebusan darah antara sesama mereka dan mereka menebus tawanan mereka sendiri dengan cara yang baik dan adil di antara sesama orang-orang Piagam Madinah berikutnya, KLIK HALAMAN SELANJUTNYA UNTUK MEMBACA Jawabanmasyarakat Madinah yang dibangun oleh nabi Muhammad SAW. adalah masyarakat yang berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan , prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga , serta perlindungan terhadap kelompok minoritassemoga membantu “jadikan jawaban terbaik ya “ Jawabanmasyarakat yang berhasil memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan hukum, jaminan kesejahteraan bagi semua warga, serta perlindungan terhadap kelompok kebahasaan, kata "madinah" berarti kota. Kata ini punya akar kata yang sama dengan kata din yang berarti agama. Kedua kata itu berasal dari tiga huruf yaitu "d-y-n" dal-ya'-nun, yang bermakna dasar "patuh".Dengan demikian, menurut Cak Nur, kedua kata mengajarkan sikap tunduk-patuh kepada Sang Maha Pencipta. Kepatuhan penuh pasrah kepada Yang Mahapencipta, dalam bahasa Arab disebut Islam, yang memiliki makna damai dan "Madinah" yang digunakan Nabi SAW untuk mengganti nama Yatsrib, jelas Cak Nur, menyiratkan semacam proklamasi atau deklarasi, bahwa di tempat baru itu hendak diwujudkan suatu masyarakat yang tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Secara sosial dan politik, sangat teratur atau berperaturan, sebagaimana mestinya sebuah masyarakat ideal.“Maka madinah adalah pola kehidupan sosial yang sopan, yang ditegakkan atas dasar kewajiban dan kesadaran umum untuk patuh kepada peraturan atau hukum. Sistem yang dibangun merujuk kepada pola kehidupan teratur dalam lingkungan masyarakat yang disebut kota,” Setelah Rasulullah saw tidak dapat membentuk basis Islam yang tangguh di Mekkah, beliau mengalihkan perhatiannya ke Madinah dengan motivasi undangan bani Aus dan Khazraj. Melalui perjanjian al-Aqabah I dan II antara Rasulullah saw dengan delegasi penduduk Madinah sebelumnya, pada tanggal 12 Rabi’ul Awal 1 H/24 September 622 M, Rasul bersama Abu Bakar sampai di Madinah, yaitu suatu kota yang terletak kira-kira 270 mil sebelah utara Mekkah, dan berada pada ketinggian 2050 kaki di atas permukaan laut Majid Ali Khan, Muhammad The Final Messenger, h. 105.Di Madinahlah Rasulullah saw mulai memberikan perhatian yang cukup serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima oleh semua pihak dalam menangani segala urusan yang ada di kota itu. Menarik untuk dicatat, bahwa masyarakat Madinah adalah pluralistik sifatnya, baik dari segi ras maupun agama. Di Madinah terdapat campuran ras Yahudi, Arab pengelana, terutama yang termasuk ke dalam dua suku Aus dan Khazraj, serta kaum muslimin emigran dari Mekkah Asghar Ali, Islam dan Pembebasan, h. 19.Untuk menyatukan karakteristik masyarakat Madinah yang heterogen, Rasulullah saw membuat sebuah konstitusi berdasarkan konsensus dari berbagai kelompok dan suku. Konsensus yang disusun oleh Rasulullah saw itulah yang dikenal dengan Konstitusi Madinah atau Shahifah, yakni suatu undang-undang dasar UUD yang mengikat anggota masyarakat Madinah dengan perjanjian. Karenanya, masyarakat Madinah sering disebut “masyarakat Shahifah” Barakat Ahmad, Muhammad and The Jews, A Re-Examination, h. 39.Dengan demikian, pembentukan masyarakat politik di Madinah lebih merefleksikan nilai-nilai demokratis, sebab wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan kehidupan berkonstitusi, yaitu sumber wewenang dan kekuasaan tidak terletak pada keinginan dan keputusan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama. Dari sini tergambar bahwa di dalam konstitusi Madinah termuat prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah kenegaraan serta nilai-nilai kemanusiaan yang sebelumnya tidak pernah dikenal umat manusia Nurcholis Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,” dalam Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, h. 590. Dapat ditegaskan, Konstitusi Madinah merupakan basic political principles prinsip-prinsip dasar politik dalam menghadapi kemajemukan masyarakat MadinahPembentukan masyarakat politik di bawah Konstitusi Madinah adalah ide pokok Rasulullah saw dalam mengimplementasikan tatanan sosial politik yang mengenal pendelegasian wewenang, yaitu adanya tatanan sosial dan politik yang diperintah tidak oleh kemauan pribadi, melainkan secara bersama-sama; tidak oleh prinsip-prinsip ad hoc yang dapat berubah-ubah sejalan dengan kehendak pemimpin. Namun di sini diperintah oleh prinsip-prinsip yang dilembagakan dalam dokumen konsensus dasar semua anggota masyarakat, yaitu wujud Madinah yang dikeluarkan pada awal dekade ketiga abad ke-7 M, secara eksplisit telah mengenalkan ide-ide politik yang sangat revolusioner dan etis terhadap masyarakat Madinah saat itu, sehingga mendukung inisiatif Rasulullah saw untuk membangun basis bagi berlakunya prinsip hidup berdampingan secara damai co-existence. Dikeluarkannya Konstitusi Madinah jelas memiliki tujuan strategis, yaitu mewujudkan keserasian politik dengan mengembangkan toleransi sosio-religius dan kultur seluas-luasnya. Munculnya Konstitusi Madinah dalam membentuk masyarakat politik, adalah gerakan revolusi terhadap kondisi sosial di Madinah. Dikatakan revolusioner, karena semua penduduk Madinah bersama para emigran Mekkah dikategorikan sebagai satu umat berhadapan dengan manusia lain ummatan wahidah min duni al-nas Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Piagam Madinah dan Konvergensi Sosial,” h. 18.Heterogenitas masyarakat Madinah waktu itu ras, suku, dan agama dipersatukan di bawah kepemimpinan Rasulullah saw, dan itulah yang dinamakan ummah. Secara konotatif, kata ummah sering dinisbatkan kepada komunitas muslim, tetapi sesungguhnya istilah ummah lebih bersifat umum dan berlaku bagi sebuah komunitas tanpa dibedakan dengan nama agama. Misalnya ummah diidentikkan dengan masyarakat Indonesia, padahal penduduk di negeri ini plural, khususnya dari sisi agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Ahmad mengatakan “While the orientalists differ as regards the development of the term in the Qur’an, some Muslim scholars assert that the term ummah describes the community of Muslim, but this is only partly true. It describes the de facto position. In theory the use of the term ummah during the major portion of the Apostle’s career was not restricted to Muslims alone” Para orientalis membedakan perkembangan istilah ummah dalam al-Qur’an. Sebagian sarjana Muslim menyatakan bahwa istilah ummah menggambarkan masyarakat Muslim, tetapi ini tidak seluruhnya benar. Istilah ini menggambarkan kedudukan secara de facto. Secara teoretis, penggunaan istilah ummah adalah selama karir kerasulan, dan tidak terbatas pada komunitas Muslim saja Muhammad and The Jews, A Re-Examination, h. 39.Kata ummah dalam Konstitusi Madinah dapat diinterpretasikan sebagai “negara” dengan mengacu kepada QS Ali Imran/3104 dan 158. Dalam ayat tersebut, ummah identik dengan masyarakat yang mengemban suatu fungsi tertentu, yaitu menyelenggarakan keumatan dengan menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar, serta keharusan menyelenggarakan musyawarah. Dari sini tergambar bahwa istilah ummah dapat diartikan sebagai kelompok tertentu yang menjadi wakil masyarakat. Pembentukan kelompok ini akhirnya menjelma menjadi suatu pemerintahan atau negara. Masyarakat Madinah, walaupun beragam dalam segala hal namun mereka adalah umat yang satu. Kaum Yahudi menjadi satu ummah dengan kaum Muslimin di bawah Konstitusi Madinah. Oleh karena itu, Rasulullah saw menyusun suatu perjanjian untuk mendapatkan ketetapan-ketetapan yang disepakati bersama, bukan mendirikan sebuah negara teologis. Dalam hal ini semua kelompok agama dan kelompok suku diberikan otonomi penuh untuk memelihara tradisi serta kebiasaan mereka demikian, dokumen Konstitusi Madinah memberikan dua landasan. Pertama, menjamin otonomi bagi kelompok yang beragam, yakni kebebasan untuk memeluk agama dan melaksanakan adat istiadat, tradisi, serta persamaan hak bagi semua orang. Kedua, menekankan pada sisi demokrasi dan konsensus, bukan pada pemaksaan kehendak. Ini menjadi bukti bahwa dalam politik dan pemerintahan, Rasulullah saw tidak menggunakan otoritas catatan sejarah dapat diketahui, Rasulullah saw dalam melakukan perjalanan hijrah ke Madinah telah merealisasikan dua aktivitas penting, yaitu mendirikan masjid di Quba dan city state di Madinah Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, h. 119. Dua peristiwa tersebut membuktikan bahwa Rasulullah saw sejak semula telah melaksanakan dua doktrin pokok dalam Islam, yaitu hubungan vertikal dengan Allah hablun min Allah dan hubungan khorizontal dengan sesama manusia hablun min al-nas.Secara sosiologis, kondisi masyarakat Madinah memang sangat memerlukan seorang pemimpin yang dapat membebaskan cengkraman dendam permusuhan yang berkepanjangan. Terpilihnya Rasulullah saw sebagai pemimpin di Madinah merupakan prestasi dalam karir politik, sebab tidak ada pertimbangan mengangkat seorang pemimpin berdasarkan rasa kasihan. Keluhuran budi pekerti dan kecakapan politik Rasulullah saw itulah yang menawan hati orang-orang Madinah Fazlur Rahman, Islam, h. 13.Umat Islam memulai hidup bernegara setelah Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Di sanalah untuk pertama kali lahir satu komunitas Islam yang merdeka di bawah pimpinan Rasulullah saw. Di Madinah terdapat pula komunitas-komunitas lain, yaitu kaum Yahudi dan sisa suku-suku Arab yang belum mau menerima Islam, serta masih tetap memuja berhala Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, h. 10. Ini berarti, umat Islam di Madinah merupakan bagian dari suatu masyarakat menjalani kehidupan sosial yang majemuk itu, umat Islam di Madinah terikat dengan perjanjian yang tertuang di dalam Konstitusi Madinah. Mereka senantiasa taat dan komitmen terhadap undang-undang dasar yang telah disepakati agar hidup berdampingan, damai dan toleran. Pasal 25 Konstitusi Madinah menyebutkan “bagi orang Yahudi, agama mereka, dan bagi kaum Muslimin, agama mereka pula.” Rumusan ini adalah pengakuan atas keberadaan agama lain, yakni bebas menganut agama dan kepercayaan masing-masing. Sejalan dengan penegasan al-Qur’an “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam… “ QS al-Baqarah/2256.Konstitusi Madinah telah memberikan landasan yang menjamin otonomi bagi kelompok yang beragama, yaitu kebebasan untuk memeluk dan melaksanakan suatu agama, serta persamaan hak bagi semua orang. Seluruh masyarakat Madinah memiliki status hukum yang sama, baik kelompok mayoritas maupun minoritas. Keberadaan kaum Yahudi sebagai kelompok minoritas di Madinah, tidak hanya diakui, tetapi juga memiliki kedudukan hukum yang sama seperti kelompok lainnya yang beragama Islam. Rasulullah saw sebagai kepala negara belum pernah melakukan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti Yahudi di Madinah. Dalam Konstitusi Madinah ditegaskan bahwa kelompok minoritas Yahudi adalah bagian dari negara Madinah. Karenanya, mereka adalah penduduk sipil yang wajib dilindungi oleh uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kondisi sosial di Madinah sebelum hijrah Rasulullah saw tidak jauh berbeda dengan kondisi masyarakat di Mekkah, yakni barbar dan tidak teratur. Pelanggaran hukum merupakan kebiasaan sehari-hari, dan kabilah-kabilah yang tinggal di Madinah selalu berperang antara satu dengan lainnya. Tidak ada peraturan dan hukum yang mampu menengahi kemelut itu. Masyarakat Madinah sangat mendambakan seorang figur pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan dan konflik di sana. Kehadiran Rasulullah saw menjadi harapan besar masyarakat Madinah dapat membawa perubahan konstruktif, membebaskan dendam permusuhan yang telah lama mencekam, dan melahirkan civil society, yaitu masyarakat yang modern, demokratis, dan berperadaban. Sejarah mencatat, Rasulullah saw mampu melakukan pembinaan sistem sosial yang teratur bagi masyarakat Madinah, sehingga mereka mengerti cara hidup, bermasyarakat, dan bernegara. Output dari penataan sistem sosial di Madinah adalah terbentuknya masyarakat baru dan sebuah negara hukum. Karena itu, sangat beralasan jika Madinah bernama “al-Madinah al-Munawwarah”, kota yang penuh cahaya. Latar Belakang Masyarakat Madinah. Kota Madinah tempo dulu. Oleh Yunahar Ilyas Penduduk asli Madinah terdiri dari dua suku Arab, yaitu Aus dan Khazraj. Kedua suku ini sudah lama terlibat dalam konflik dan permusuhan. Sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW, mereka sebenarnya sudah mulai lelah menghadapi konflik dan permusuhan terus-menerus tersebut. Mereka sedang merintis usaha-usaha untuk menghentikan permusuhan itu. Itu sebabnya tatkala enam orang pemuda Yastrib bertemu Nabi di Aqabah Mina mereka langsung tertarik. Dalam pikiran mereka muncul harapan Nabi Muhammad SAW dapat mempersatukan mereka. Akhirnya proses baiat Aqabah pertama diikuti 12 orang dan baiat Aqabah kedua diikuti 70 orang. Terbentuklah di Madinah komunitas baru suku Aus dan Khazraj, yaitu komunitas Muslim. Semakin lama komunitas ini semakin banyak, apalagi setelah kedatangan Nabi Muhammad ke Madinah. Mereka tampil sebagai pendukung dan pembela Nabi serta sahabat-sahabat yang Hijrah ke Madinah–baik yang datang sebelum Nabi maupun setelah Nabi. sumber Suara Muhammadiyah

masyarakat madinah sebagian besar adalah para pendatang dari